Hipokalsemia (milk fever) pada Sapi

Hipokalsemia (milk fever) pada Sapi




Kalsium adalah penolong dalam mengaktifkan enzim yang menstimulasi banyak reaksi kimia esensial dalam tubuh juga memainkan peranan dalam koagulasi darah. Kalsium serum sisanya berikatan dengan komponen protein serum, terutama albumin. Kalsium diserap dari makanan pada adanya keasaman lambung normal dan vitamin D. Sebagian besar ekskresi kalsium adalah melalui feses dan sisanya melalui urin. Serum kalsium dikontrol oleh hormon para tiroid dan kalsitonin. Ketidakseimbangan kalsium berarti, adanya kelebihan dan kekurang kalsium didalam tubuh kita. Kekurangan kalsium dinamakan hipokalsemia, sedangkan kelebihan kalsium dinamakan hiperkalsemia.

Hipokalsemia adalah gangguan metabolisme yang sering terjadi pada sapi dengan produksi susu tinggi. Kejadian ini berhubungan dengan onset laktasi yang cepat dan terjadi dalam 72 jam setelah melahirkan serta terjadi sebelum serta pada saat melahirkan. Hipokalsemia dapat disebut juga paresis puerpuralis, milk fever, calving paralysis, parturient paralysis, dan parturient apoplexy. Hipokalsemia ini juga diiringi dengan kelemahan muskular, gangguan sirkulasi dan keadaan depresi.

Hipokalsemia terjadi akibat perubahan kadar ion dalam sel cairan tubuh yang mempengaruhi iritabilitas, gerakan dan tonus otot, serta pengaruh dari ion – oin Na, K, Ca dan Mg yang mempengaruhi implus syaraf. Ca dan Mg berfungsi sebagai pemelihara permiabilitas membrane sel dan kemampuan otot untuk berkontraksi. Sedangkan Ca berfungsi sebagai aktifator antara ikatan protein aktin dan protein myosin sehingga dapat menghasilkan kontraksi otot (Syahdan et al., 2019).

Milk fever adalah penyakit gangguan metabolisme yang terjadi pada sapi betina menjelang/saat/sesudah melahirkan yang menyebabkan sapi menjadi lumpuh. Milk Fever ditandai dengan menurunnya kadar kalsium (Ca) dalam darah. Ca berperan penting dalam fungsi system syaraf. Jika kadar Ca dalam darah berkurang drastis, maka pengaturan sistem syaraf akan terganggu, sehingga fungsi otak pun terganggu dan sapi akan mengalami kelumpuhan. Kasus milk fever terjadi pada 48 – 72 jam setelah sapi melahirkan, sapi yang mengalami gangguan ini biasanya sapi yang telah beranak lebih dari tiga kali. Sapi berumur 4 tahun dan produksi tinggi (lebih dari 10 liter) lebih rentan mengalami milk fever. Selain itu, angka kejadian milk fever 3-4 kali lebih tinggi pada sapi yang dilahirkan dari induk yang pernah mengalami milk fever.

Metabolisme Kalsium

Metabolisme kalsium erat hubungannya dengan magnesium dan vitamin D. Hubungan magnesium dalam metabolisme kalsium bisa melalui beberapa jalur. Magnesium dibutuhkan untuk pelepasan paratiroid hormon dari kelenjar paratiroid. Bila paratiroid hormon yang disekresikan kurang, akan mempengaruhi mobilisasi kalsium dari tulang.
Vitamin D diperlukan untuk menstimulasi absorbsi kalsium dari saluran pencernaan. Vitamin D harus diubah dulu menjadi 25 hidroksi vitamin D di hati yang prosesnya membutuhkan magnesium. Kemudian menjadi 1,25 dihidroksi vitamin D di ginjal yang membutuhkan paratiroid hormon. Sehingga bisa dinyatakan bahwa magnesium berperan pada langkah pertama, yaitu pelepasan paratiroid hormone dari kelenjar paratiroid, kemudian paratiroid hormon berperan pada langkah kedua yang berfungsi langsung mempengaruhi mobilisasi dan absorbsi kalsium


 
Pengaturan Homeostasis Ca

Peranan magnesium dikatakan lebih kepada fungsi regulatorik. Kekurangan magnesium akan mengakibatkan terlambatnya proses yang dibutuhkan untuk memulai proses mobilisasi kalsium pada kondisi hipokalsemia. Peranan vitamin D dalam metabolisme Ca adalah dalam aksi sinergisnya dengan hormone paratiroid untuk merangsang aktifitas osteoklastik resorpsi tulang dan meningkatkan reabsorpsi tubulus ginjal terhadap Ca. Peranan utama 1,25 dihidroksi vit D adalah kemampuannya merangsang transport aktif (trans seluler) Ca dari pakan melewati epitel usus halus. Ca bisa di serap dari lumen usus halus baik dengan aktif maupun pasif transport (peri seluler). Transpot pasif (peri seluler) sangat dipengaruhi oleh kadar ion Ca dalam lumen usus. Transport yang efisien dari Ca yaitu bila Ca dari pakan sangat rendah atau kebutuhan akan Ca sangat tinggi terjadi dengan cara transport aktif melewati epitel usus halus. Proses transport ini membutuhkan 1,25 dihidroksi vit D untuk merangsang terbentuknya protein pembawa Ca melewati epitel usus halus.

Lima dari 6 ekor sapi penderita hipokalsemia subklinis (83,3%) merupakan sapi yang berada pada masa laktasi ke-3 atau lebih (Wulansari et al., 2017).


Pada sapi diketahui ada tiga stadium gejala-gejala parturient paresis. Stadium pertama dikenal juga dengan sebutan stadium eksitasi. Pada stadium ini, sapi mengalami kekejangan dan tetani disertai hipersensitivitas dan tremor otot kepala ekstremitas. Hewan enggan bergerak dan tidak mau makan. Kadang-kadang hewan menggerakkan kepala, menjulurkan lidah, dan menggertakkan gigi. Temperatur rectal biasanya normal atau sedikit diatas normal. Kadang ditemukan ataksia dan mudah jatuh atau ambruk. Stadium kedua adalah sterna recumbency, sapi mulai mengalami penurunan tingkat kesadaran. Tetani ekstremitas sudah tidak muncul tapi sapi tidak dapat berdiri, cuping hidung kering, kulitdan ekstremitas dingin, serta temperature rectal subnormal (36-38oC). Selain itu, dilatasi pupil dan bola mata kering. Gejala sirkulasi mulai tampak, suara jantung lemah dan lebih cepat (lebih dari 80 per menit); pulsus lemah, tekanan, amplitude berkurang, ruminal statis, dan konstipasi. Respirasi tidak begitu tampak tapi kadang ditemukan. Stadium ketiga adalh stadium lateral recumbency. Sapi mendekati koma. Meski kaki ditarik, tidak terjadi hambatan. Depresi temperature dan sirkulasi tampak sangat nyata. Pulsus tidak teraba, suara jantung tidak terdengar, dan denyut jantung leih dari 120 per menit. Sapi mungkin juga mengalami bloat. Bila tidak diobati, tidak dapat sembuh dengan sendirinya dan kondisi tidak berubah dalam 12-24 jam. Hewan dapat mengalami kematian bila tidak segera diterapi (Triakoso, 2020)

Adapun gejala – gejala klinis hipokalsemia yang didapati antara lain penderita mengalami berkurangnya dan hilangnya nafsu makan, telinga dingin, tremor pada kaki belakang, tidak dapat berdiri karena tidak ada kontraksi otot, penderita merebah dengan tubuh bagian kanan di bawah dan kepala ditolehkan ke belakang menumpang sisi kiri tubuh, serta tidak adanya reflek mata (Solfaine & Lestari, 2014)

Faktor – faktor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya milk fever antara lain :
  1. Tingkat Produksi susu. Sapi-sapi dengan produksi susu tinggi lebih rentan terhadap penyakit milk fever . Peningkatan produksi susu akan menyebabkan meningkatnya metabolisme kalsium dan meningkatkan kalsium ke air susu, bila terjadi kegagalan homeostatis kalsium maka dapat menyebabkan milk fever.
  2. Umur sapi. Bertambahnya umur pada seekor sapi akan menurunkan tingkat metabolisme umum. Kapasitas penyerapan kalsium mengalami penurunan, cadangan kalsiumnya berkurang sehingga sapi-sapi tua beresiko tinggi terhadap milk fever.
  3. Asupan (intake) diet Ca sebelum kelahiran. Asupan Ca tidak boleh berlebihan selama periode kering kandang karena intake Ca yang berlebihan dapat merangsang C-thyroid untuk mensekresi kalsitonin. Kalsitonin akan aktif karena sapi terlalu banyak mengkonsumsi Ca. Oleh karena itu, diet Ca tinggi merupakan penyebab utama terpengaruhnya metabolisme mineral oleh kalsitonin.
  4. Ransum pakan. Pakan sapi terdiri dari hijauan dan konsentrat dan harus seimbang Ca:P = 1:1

Dampak penyakit milk fever terhadap respon kekebalan dan penyakit lain :

1. Hubungan milk fever dengan mastitis

Sapi penderita milk fever rentan terhadap penyakit mastitis karena milk fever menyebabkan kesulitan dalan kontraksi otot, termasuk juga otot-otot lubang puting. Sphincter lubang puting tersusun dari otot-otot polos. Kontraksi otot-otot polos tersebut akan menyebabkan lubang puting menutup. Jika terjadi milk fever maka akan terjadi penurunan kekuatan dan laju kontraksi otot polos tersebut dan pada akhirnya akan menyebabkan gangguan penutupan lubang puting padahal setelah proses pemerahan lubang puting akan terbuka dan semakin lebar bila sapi tersebut produksi susunya tinggi. Sementara penderita milk fever cenderung untuk rebah karena tidak mampu menopang berat badannya, karena kelemahan kontraksi otot-otot tubuhnya. Terbukanya lubang puting dan kecenderungan sapi rebah akan meningkatkan kemungkinan masuknya bakteri melalui lubang puting yang menjadi dasar proses kejadian mastitis.

Sapi perah penderita mastitis subklinis ditandai dengan tingginya jumlah sel somatik umumnya memiliki kadar kalsium darah lebih rendah dan termasuk dalam kondisi hipokalsemia subklinis serta memiliki produksi susu yang jauh rendah dibandingkan dengan sapi sehat (Wulansari et al., 2017).

2. Hubungan milk fever dengan fertilitas

Milk fever diduga menurunkan fertilitas sapi perah. Hal ini akibat peran kalsium pada organ reproduksi, dimana pada penderita milk fever terjadi gangguan fungsi otot uterus, adanya perlambatan involusi uterus serta adanya perlambatan aliran darah uterus.

Pengobatan dan pencegahan milk fever

Pengobatan

Pada prinsipnya pengobatan milk fever diarahkan untuk mengembalikan Ca dalam darah pada kondisi normal tanpa penundaan serta mencegah terjadinya kerusakan otot dan syaraf akibat hewan berbaring terlalu lama. Pengobatan yang dilakukan untuk penyakit metabolik “milk fever” antara lain dengan :
  1. Larutan Kalsium boroglukonat 20-30% sebanyak 1:1 terhadap berat badan diberikan melalui injeksi secara intravena jugularis atau vena mammaria selama 10-15 menit dan dapat dibarengi dengan pemberian secara subkutan. Biasanya pada kasus lapangan’ milk fever’ merupakan penyakit kompleks, oleh karena itu larutan Kalsium boroglukonat dapat ditambah magnesium atau dektrosa.
  2. Larutan kalsium khlorida 10% disuntikkan secara intra vena, pemberian yang terlalu banyak atau terlalu cepat dapat mengakibatkan heart block.
  3. Campuran berbagai sediaan kalsium seperti Calphon Forte, Calfosal atau Calcitad-50

Pencegahan

Kasus milk fever biasanya tinggi pada kelahiran musim hujan (basah) dan kondisi hijauan pakan ternak yang basah. Hal tersebut karena rumput mengandung Ca yang tinggi dan magnesium yang rendah dan selama kelahiran biasanya terjadi periode statis lambung yang menyebabkan kemampuan sapi dalam mengabsorbsi Ca berkurang. Oleh karena itu strategi pencegahan milk fever dilakukan antara lain dengan :
  1. Menghindari pemberian rumput yang basah selama musim hujan tiga minggu masa kebuntingan terakhir.
  2. Memberikan asupan kalsium rendah selama masa kering kandang, diet magnesium dan fosfor yang cukup, diet yang mudah tercerna, dan hindari pemberian pakan yang berlebihan sebelum melahirkan serta pemberian hay atau silase.
  3. Memberikan derivat vitamin D melalui injeksi, campuran vitamin D dengan 100-500 g Ca khlorida melalui pakan atau air minum selama 4-5 hari sebelum melahirkan
  4. Pada induk yang pernah terkena milk fever diberikan 400 ml 20 % larutan Ca (rendah magnesium dan fosfor) secara subkutan segera setelah melahirkan (Nugraheni, 2019). 






DAFTAR PUSTAKA
 
Nugraheni, T. R. (2019). Penyakit “Milk Fever“ Pada Sapi Perah. Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden. http://bbptusapiperah.ditjenpkh.pertanian.go.id/?p=2840
Solfaine, R., & Lestari, B. A. (2014). Kasus hipokalsemia pada sapi perah FH dI KUD Tani Wilis Sendang Tulung Agung. VITEK: Bidang Kedokteran Hewan, 4.
Syahdan, S., Humaidah, N., & Susilowati, S. (2019). STUDI KASUS HIPOKALSEMIA (Milk Fever) PADA SAPI PERAH PERANAKAN FRIESIAN HOLSTEIN (PFH) di WILAYAH KERJA KOPERASI AGRO NIAGA (KAN) JABUNG. Jurnal Rekasatwa Peternakan, 2(1).
Triakoso, N. (2020). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Veteriner Ruminansia, Kuda dan Babi. Airlangga University Press.
Wulansari, R., Palanisamy, S., Pisestyani, H., Sudarwanto, M. B., & Atabany, A. (2017). Kadar Kalsium pada Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis di Pasir Jambu, Ciwidey. Acta VETERINARIA Indonesiana, 5(1), 16–21.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Air Putih yang Sudah Lama Tidak Diminum, Masih Amankah?

Perbedaan Ashoka dan Ixora